What is your guilty pleasure? Well, chicklit dengan setting kota besar yang menggabungkan antara karier, struggle hidup di kota besar, dengan sentuhan cinta merupakan jenis cerita yang enggak akan pernah terasa basi.

Penulis Amerika punya New York, penulis Indonesia punya Jakarta. Mengulik kisah di balik gedung-gedung pencakar langit ini enggak bakalan ada habisnya. Apalagi kalau bicara soal cinta. Sebab kadang, kisah cinta jauh lebih rumit ketimbang KPI yang harus dicapai di kantor.

I grew up with Sophie Kinsella and 90’s rom-com movies. Kisah perempuan muda yang mencoba untuk menggapai mimpi dan ambisi menjadi topik yang selalu menarik untuk dibahas. Cerita-cerita tersebut tanpa disadari membentuk pola pikir, juga mempengaruhi dalam membentuk, ‘what kind of future that I want?’

Bicara New York memang terlalu muluk, ya. But we have Jakarta. Jakarta yang punya dua sisi, metropolis dan kehidupan yang mengenaskan. Namun, Jakarta dalam wajah metropolis jadi salah satu hal yang ada di dalam impian semenjak kali pertama menginjakkan kaki di kota ini, 14 tahun yang lalu.

My shameless side makes me accept the job offer because the office is in Thamrin and one of my dreams is to stroll down SCBD with my favorite boots and a cup of coffee in my hand.

Shameless? Yes!

Hal ini juga berpengaruh dalam bacaan. I’m craving for chicklit, dan di mana lagi kita bisa menemukan chicklit yang menarik sekaligus ambisius kalau enggak dalam wajah metropolis Jakarta?

Jadi, menyimak cerita yang menggambarkan wajah metropolis Jakarta adalah salah satu guilty pleasure. Dua genre novel Indonesia yang selalu menggugah untuk dibeli adalah Metropop dan City Lite, karena kedua genre ini cocok dengan my shameless mind. Lol!
Salah satu rising star di dunia metropolis adalah Ayunita, yang novel debutnya, Retrocession menjadi sebuah fenomena menarik ketika diluncurkan. Berawal dari Wattpad, lalu diterbitkan dan langsung meraih 3000 pembeli di sepuluh menit pertama penjualan. Ini jadi bukti kalau wajah metropolis Jakarta memang menarik untuk diulik.

In my personal opinion, kenapa sih topik ini selalu menarik? Yes, menjual mimpi tapi bukankah itu yang dibutuhkan karena untuk sejenak, kita butuh pengalihan untuk lepas dari problematika sehari-hari?

“Jakarta dengan kebisingan dan kesibukan orang-orangnya, sebenarnya menyimpan banyak perasaan kesepian dan kesedihan yang disembunyikan di baliknya. Aku selalu melihat Jakarta dari sisi itu,” ungkap Ayu.Are you looking to sell your house in Clearwater, FL? Check out this home buying company at https://www.companiesthatbuyhouses.co/new-jersey/home-buying-company-clifton-nj/ for a quick and hassle-free process.

Jakarta: menjual mimpi vs realita

Novel Ayunita seringkali menggambarkan perjuangan mbak-mbak Sudirman juggling antara urusan kantor dan hati. Enggak bisa dipungkiri kalau di kenyataan, masalah ini gampang banget ditemui.

“Kita tahu saingan terbesar urusan hati dalam hidup itu adalah pekerjaan. Bukan faktor-faktor dramatis lain. Blame the workload. As for “penggambaran seseorang yang juggling antara urusan kantor dan hati” itu most likely to happen in our daily life. Banyak unsur-unsur keseharianku yang kumasukkan dalam cerita. Seperti bagaimana ketika kita sedang punya masalah pelik untuk urusan pribadi tapi pekerjaan menuntut untuk tetap profesional. That’s real. And that’s the reality,” jelas Ayu.

Memasukkan pengalaman pribadi ke dalam tulisan seringkali enggak bisa dihindarkan. Terlebih jika cerita yang diangkat sangat dekat dengan keseharian. Seperti Ayu yang menulis tentang kehidupan para bankir dan di keseharian Ayu juga berprofesi sebagai bankir.

“Aku tipe yang menulis bukan dengan teknik menulis yang tinggi. I know that. I write based on apa yang aku rasakan. Jadi sedikit banyak penokohan, cerita, pengalaman pribadi berpengaruh dalam cerita. Meskipun plot ceritanya tentu saja tetap imajinasi, tapi unsur-unsur di dalamnya sangat lekat dengan pengalaman atau keseharian yang aku alami,” ungkapnya.

Berdasarkan hal tersebut, enggak heran kalau cerita Ayu seringkali terasa real. Menurut Ayu, hal ini juga dipengaruhi oleh cara menuliskan narasi dan dialog di dalam cerita. “Menurutku itu faktor yang sangat penting. Bagaimana kita berbicara sehari-hari, berinteraksi dengan orang lain, memikirkan sesuatu, itu yang perlu kita tuangkan sama persis ke dalam tulisan. Tentu saja dengan tetap memperhatikan kaidah bahasa dan hal-hal lainnya,” jelasnya.

Ayu melanjutkan, “aku sering mengulang dialognya secara langsung. Jadi ketika menulis percakapan, aku akan mencoba mengucapkannya langsung, seakan-akan aku yang menjadi tokoh di cerita itu. Jadi aku bisa detect ketika ada kalimat yang mungkin terdengar aneh kalau diucapkan di percakapan sehari-hari. Well, I may sound like a weirdo karena terkadang seakan jadi kayak ngomong sendiri.”
Salah satu stigma yang sering dilekatkan pada jenis tulisan seperti ini adalah tokoh yang too good to be true alias enggak mungkin ada (IMHO, mereka yang enggak menjejak bumi ini ada kok. Mungkin kita aja mainnya kurang jauh atau main di kolam berbeda, makanya enggak ketemu. Agree?)

“I heard that a lot. Tapi aku punya opini tersendiri untuk hal ini. I dare to say bahwa aku enggak menganggap tokohku too good to be true. Why? Because I already saw some examples in real life. Tapi aku enggak menganggap aku harus menjelaskan ke semua orang bahwa they do exist in real life (bukan karakter Radit, tapi lebih ke ‘orang-orang’ yang seperti mereka). We can’t judge bahwa orang-orang seperti mereka tidak mungkin ada hanya karena kita belum bertemu secara langsung. It’s just a matter of time… and chance,” jelas Ayu.

Sosok di balik urban life

Pengin kenalan lebih jauh dengan Ayu? Yuk, intip proses kreatif seorang Ayunita:

Apa arti menulis bagi Ayu?

Something that I enjoy a lot, sesuatu yang membuatku bisa menyampaikan semua yang tidak bisa kusampaikan secara lisan dan media untuk aku memperkenalkan dunia yang mungkin belum semua orang tau dan familiar.”

Gimana awalnya sampai jadi penulis? Apa perbedaan yang dirasa setelah sukses jadi penulis?

“Aku mulai menulis cerita teenlit sejak SMP. Tapi semuanya berakhir di draft dan DNF. Sampai akhirnya aku mulai menulis di asianfanfics, itu pertama kalinya aku berani publish tulisanku. Few years later, someone told me bahwa kalau orang yang menulis tapi tulisannya cuma untuk dirinya sendiri enggak akan bisa dibilang sebagai penulis. Aku mulai fokus menulis satu judul dengan tujuan dikirimkan ke penerbit, tapi karena proses menulis yang enggak mudah ditambah dengan aktivitas lain, saat itu aku berpikir butuh semacam booster yang bisa membuatku konsisten menulis sampai ceritanya selesai. Here comes Wattpad, and the rest is history.”

Selain menulis, juga ada kesibukan lain. Kerjaannya juga enggak main-main. Gimana ngebagi waktu selama ini?“Aku men-treat menulis sebagai hobi. Ketika ngelakuin itu aku merasa it’s not time-consuming. Justru semacam stress reliever, and I can do it anywhere, anytime. Aku enggak memberikan spare waktu khusus untuk menulis. Kapan pun (di sela-sela menunggu jadwal meeting) ketika ada kesempatan, I will write down what’s inside my head. True that works also consumed lot of energy and time, but somehow, nggak peduli kerjaan selesai tengah malam, I always feel excited untuk membuka draft dan kembali menulis.”

Your first book quite successful. Ada beban untuk buku berikutnya?

“Cukup berat hehe. I feel thankful untuk apa yang aku capai dan support serta antusiasme dari orang-orang di buku pertama. But it means aku juga harus memberikan yang lebih baik ke depannya untuk para pembaca. Beban yang sama dirasakan editorku. Makanya proses revisi buku kedua ini cukup alot dan lama, because we really want to give a better result. Much better than the previous one.”

Ayu juga salah satu penulis Wattpad yang dibilang sukses. Gimana cara nanggepinnya?

Honestly aku juga cukup terbebani akan hal ini, di samping rasa terima kasih untuk semua yang sudah mendukung. Awal-awal bergabung WP (maybe even until now), tentu saja it’s not all about rainbow and flowers. Dulu aku sangat terpengaruh dengan tekanan-tekanan yang kudapatkan di WP (in many ways, entah itu positif ataupun negatif lol), but then as time goes by, aku melatih diri sendiri untuk fokus hanya kepada orang-orang yang memang ingin mendukung, ingin membuat aku lebih baik, yang mencintai karya yang kutulis, bahkan sekalipun ada kritik-kritik yang disampaikan, tentu saja diterima jika memang tujuannya untuk membuat tulisan menjadi lebih baik. Sisanya, I have no room for negative things anymore.”

Dari Wattpad ke buku cetak. Bisa diceritain prosesnya?

“Aku menulis Retrocession dengan tujuan awal untuk dikirimkan ke penerbit. Wattpad seperti tempat untuk ‘testing the water’. But then di tengah-tengah perjalanan di WP, aku dihubungi oleh tim penerbit–now he’s my editor–yang tertarik dengan naskahku. Honestly saat itu aku enggak langsung mengiakan. Bukan karena enggak mau, tapi karena saat itu status naskahku sedang kukirimkan ke tempat lain, di mana berdasarkan perjanjian tidak tertulis, sebaiknya menunggu selama periode tertentu baru akhirnya menarik naskah. Long story short, aku merasa mungkin memang ‘jodoh’ naskah ini ada di Elex Media, jadi beberapa bulan kemudian, aku menghubungi editor dan menanyakan apakah dia masih tertarik dengan naskahku. He said yes, and it took 3-5 months, dengan proses revisi yang cukup panjang, karena permasalahan terbesar di naskah Retrocession adalah jumlah kata yang dua kali lipat dari batas maksimal sebuah buku. Dengan bantuan dari editor dan sekian banyak proses revisi, finally buku Retrocession ini berhasil diterbitkan.”

Setelah trilogi ini kelar (cmiiw, is it trilogy?) apa ada rencana lain?

“Yes, for now it’s a trilogy. Mungkin setelah Retrologi Universe ini selesai, aku ingin mencoba universe berbeda. Tokoh yang tidak berkaitan sama sekali, dunia yang berbeda sama sekali. Yep, it’s still chicklit dengan urban lifestyle. I want to challenge myself untuk membawakan cerita dengan tipe pekerjaan yang berbeda–not financial again. Hopefully.”

Menulis cerita dengan background banking yang juga aktivitas sehari-hari, risetnya gimana? Untuk kasus kayak gini (menulis sesuatu yang juga dijalani sehari-hari), seberapa penting riset menurut Ayu?

“Jujur aja aku sengaja memilih banking dan financial industry sebagai background pekerjaan tokoh karena aku sadar I’m still a newbie di dunia kepenulisan ini. Aku masih fokus ke bagaimana menyampaikan cerita, jadi untuk meringankan faktor-faktor lain seperti riset pekerjaan, aku memilih pekerjaanku sendiri. Benar bahwa aku masih tetap melakukan riset yang cukup dalam (khususnya untuk konsultan, I talked a lot with many friends from many consulting firms), tapi setidaknya untuk riset pekerjaan sebagai bankir, aku bisa menghemat waktu dengan memakai pengalaman sendiri sebagai bahan risetnya. Karena aku menganggap riset itu sangat sangat krusial, makanya sampai saat ini belum membuat cerita dengan latar belakang pekerjaan di luar dunia finansial, karena aku merasa risetku belum cukup dalam di sana dan aku tidak ingin ‘setengah-setengah’ dalam menjabarkan pekerjaan tokohku. Salah satu faktor untuk membuat cerita terasa real juga adalah bagaimana membuat pekerjaan tokoh, aktivitas tokoh, bukan cuma sekadar tempelan. Butuh riset yang sangat dalam untuk hal itu.”

Ayunita Must Have Read Chicklit