Belakangan, Archer’s Voice tiba-tiba booming kembali, baik di kalangan Bookstagram atau Booktok, meski sudah diterbitkan lebih dari lima tahun yang lalu. Popularitas yang mendadak ini membuat nama Mia Sheridan juga menjadi sorotan. Bukunya yang lain juga merasakan dampak dari popularitas Archer’s Voice.

Archer’s Voice ditetapkan sebagai salah satu novel romantis modern terbaik yang pernah ditulis. Bukan sembarang klaim, karena novel tersebut memiliki keunikan lewat karakterisasi yang tidak biasa, dan membuatnya stand out di antara fictional hero lainnya,

Archer Hale bersinar dalam ketidaksempurnaan, membentuk perspektif bahwa cinta bisa tumbuh dari sesuatu yang broken dan tidak sempurna.

Maybe I’m late to the party but Archer Hale definitely one of the best book boyfriends of all time. I cried through the book. Ada nuansa sendu di sepanjang buku yang memunculkan keinginan untuk memeluk Archer dan bilang, ‘you’re doing good. Everything’s going to be okay. you deserve all the love in the world.’

Selain karakterisasi, gaya penulisan Mia Sheridan juga membuat novel karangannya begitu digemari. Mia menulis dengan lugas, pilihan katanya sederhana tapi manis dan menyentuh. Perpaduan gaya menulis dan karakter kuat melahirkan novel yang menarik untuk dinikmati.

Ketika Mia Sheridan bersedia untuk diwawancara, I was ecstatic. Tentu saja, menarik untuk bisa mengetahui isi pikiran seorang Mia Sheridan sehingga bisa melahirkan tulisan yang luar biasa, sekaligus mengintip proses kreatif di balik karya-karyanya.

Mengatasi trauma dengan berkarya

Mia tidak pernah berniat untuk berkarier sebagai penulis. Perjalanannya justru berawal dari kisah sedih. “Kami kehilangan bayi perempuan di tahun 2012 dan saya mulai ngeblog soal perjalanan mengatasi duka. Beberapa teman dan keluarga meminta untuk menulis buku, tapi saya belum siap membahas topik tersebut. Saya suka membaca novel romantis, cerita yang berisi tentang cinta dan harapan, dan saya putuskan untuk menulis hal tersebut. Rasanya seperti terapi dan saya menyukai prosesnya. Namun, saya tidak pernah berpikir akan berkarier di sini,” jelas Mia.

Perjalanan mengatasi duka tersebut membawa Mia melahirkan novel pertamanya yang berjudul Leo di tahun 2012. Leo menjadi buku pertama dari seri Sign of Love, novel yang setiap judul merupakan perwakilan dari zodiak.

“Saya menulis Leo selama beberapa bulan. Teman-teman mengeditnya lalu saya terbitkan secara mandiri di Amazon. Saya beruntung banyak blogger yang membacanya dan memberikan exposure besar. Rasanya menakjubkan,” kenang Mia.

Yup, Mia mengawali karier sebagai independent writer. Mia menerbitkan sendiri novel yang ditulisnya alias self-published. Beberapa buku Mia diterbitkan ulang setelah dikontrak oleh penerbit mayor.

Menjadi seorang independent writer diakui Mia sangat berat sekaligus menantang. “Hal paling sulit dengan menjadi penulis self-published adalah semuanya harus dilakukan sendiri. Kamu harus mencari editor, membuat sendiri rencana marketing dan semua tetek bengek lainnya yang dibutuhkan dalam menerbitkan buku. Prosesnya sangat menakutkan. Sisi positifnya, tidak ada yang membebanimu dengan ekspektasi,” jelas Mia.

Melirik sisi kreatif Mia Sheridan

Tercatat, Mia sudah menulis lebih dari 50 judul buku. Sebuah jumlah yang mencengangkan, ya. Penasaran enggak, sih, dengan sisi kreatif Mia? Yuk, ikuti bincang-bincang berikut.

Buku-bukumu dicintai di seluruh dunia. Pernah kebayang enggak orang-orang dari negara lain, bahkan yang sangat jauh sekalipun, membaca bukumu?

No! Ketika mulai, saya enggak pernah bermimpi bahwa buku saya akan dibaca di tempat yang jauh, misalnya Indonesia. Saya masih takjub dengan kenyataan itu. Bisa bertemu dengan pembaca dari seluruh dunia adalah hal terbaik yang saya rasakan di sepanjang perjalanan sebagai penulis.

Kamu sudah menulis lebih dari 50 buku. Bagaimana cara mendapatkan ide? Ada rahasianya enggak dalam mengumpulkan ide?

Jujur ya, sepertinya saya cuma menyimpan setengahnya aja sekarang. Saya enggak pernah membayangkan akan menulis satu buku, tapi ternyata sudah 50 aja. Saya mendapat inspirasi dari mana saja dan di mana saja. Kadang ide datang begitu saja, dan di lain waktu saya harus aktif mencari inspirasi seperti lewat lagu, puisi, atau potongan dari berita. Saya bisa menemukan ide di mana saja.

Kamu punya metode menulis khusus? Misalnya harus pakai outline atau mengalir begitu saja?

Saya memakai outline, tapi sifatnya enggak mengikat. Seringkali berupa poin-poin yang berisi ide besar tentang yang terjadi di novel. Saya membiarkan karakter yang membimbing saya dari satu titik ke titik berikutnya.

Ada enggak buku yang susah banget untuk ditulis?

Mungkin Becoming Calder dan Finding Eden karena saya harus membangun sebuah dunia baru secara utuh. Buku tersebut juga pertama kalinya saya menulis sesuatu yang “dark” sehingga saya harus mengumpulkan banyak emosi di dalamnya.

Kalau boleh memilih satu buku sebagai the book of your life, akan memilih buku apa?

Sepertinya Archer’s Voice. Bahkan, menulisnya saja memberikan efek dreamy dan sanpai sekarang masih terasa.

Archer’s Voice and another love story from Mia

Mia terkenal dengan novel-novel romantis yang heartwarming. Walaupun karakter di novel tersebut mengalami tragedi, Mia selalu memberikan harapan dalam hidup tokoh-tokohnya. In the end, love always win.

Omong-omong soal romantis, Mia enggak yakin apakah dirinya romantis atau tidak. “Bisa ya, bisa enggak. Saya lebih menyukai tindakan kecil dibanding yang grande. Misalnya, saya suka dibawain kopi tiba-tiba ketimbang dikasih bunga atau kartu ucapan.”

Meski begitu, Mia selalu sukses menghadirkan kisah cinta yang romantis dan hopeful dalam setiap karyanya. Salah satunya, dan enggak bakal pernah bosan selalu menyebut judul satu ini, ARCHER’S VOICE. Let’s talk more about Archer.

Apa rahasianya menulis adegan romantis? Saya ingat sewaktu membaca Archer’s Voice yang membuat hati ikut berbunga-bunga. (Disclaimer, I love Archer to the moon and back and back and back)

I love writing the romantic scenes so those are the carrots that keep me trudging forward! Seringkali, adegan demi adegan bermain di benak saya ketika tidak menulis, jadi ketika sudah di depan komputer, rasanya lebih mudah dan saya bisa menulis dengan lancar.

Bicara soal Archer’s Voice, buku ini tiba-tiba populer lagi di media sosial. Pernah kepikiran enggak buku ini kembali booming?

It’s crazy and so unexpected. But amazing! Engaak pernah sekalipun terpikir akan menerima sebanyak ini perhatian dan cinta untuk Archer setelah bertahun-tahun kemudian. Saya bersyukur dan berterima kasih kepada semua pembaca, baik yang lama atau baru.

Bisa diceritain enggak proses di balik lahirnya Archer’s Voice? Idenya dari mana, sih?

Ketika menulis Archer’s Voice, saya menginginkan hero yang sangat berbeda dibanding tokoh lain yang sering muncul di novel romantis.  Saya putuskan untuk membuat hero yang tidak sempurna, dan karakter Archer pun tumbuh di benak saya.

Salah satu keunggulan bukumu adalah bagaimana caramu menuliskan kisah cinta. Indah dan menghangatkan hati. Bagaimana caranya agar bisa menulis seperti itu?

Terima kasih. Seperti yang saya bilang, biasanya kisah cinta itu sudah ada di pikiran saya ketika mulai menulis, jadi kayaknya mudah aja menuliskannya. Saya mencoba sebaik mungkin menuliskan kisah cinta yang enggak terasa sebagai “filter”, melainkan sebuah hubungan yang berkembang dan memiliki peranan penting di antara karakter.

Ada banyak banget karakter cowok yang pernah ditulis. Kalau boleh memilih, siapa yang menurutmu paling lovable?

Saya harus memilih tiga orang: Archer (Archer’s Voice), Calder (Becoming Calder), dan Gabriel (Most of All You).

Selain karakter cowok, tokoh cewek juga enggak kalah keren. They are badass in her own way. Saya suka cara kamu menggambarkan karakter cewek (terutama Bree). Bisa di-share enggak proses penulisan karakter tersebut?

Thank you. Pesan yang ingin saya sampaikan lewat tokoh-tokoh cewek di novel adalah bahwa apa pun yang terjadi, seberat apa pun situasi yang dihadapi, dan terlepas dari keadaan hidup saat ini, selalu ada alasan untuk berharap. Semua orang, tidak peduli dia siapa, berhak untuk dicintai dan harapan itu akan membuatmu menjadi dirimu yang sebenarnya. Setiap perempuan punya kekuatan di dalam dirinya.

Beberapa bukumu membuat pembaca menangis. Setuju enggak?

Saya sering mendengar soal ini, tapi jujur ya, saya enggak pernah bertujuan membuat pembaca menangis. Emosi, mungkin iya. Menangis? Enggak sama sekali. Saya tidak pernah menangis setiap kali menulis buku. Mungkin karena saya sudah tahu akhirnya seperti apa. Jadi, kalau ada pembaca yang menangis dan memberikan seluruh hatinya terhadap karakter yang saya tulis, saya berterima kasih banget.

Menulis buku tentang cinta, apa arti cinta bagi Mia Sheridan?

Cinta itu ketika kamu benar-benar merasa 100% menjadi dirimu sendiri. Cinta itu bukan karena seseorang ‘melengkapi’ kamu, tapi kamu sendiri yang melengkapi dirimu sendiri. Cinta sejati akan membuatmu menjadi dirimu apa adanya, dan akan membuatmu bersinar dengan caramu sendiri, sehingga kamu bisa berbagi cahayamu kepada dunia. Juga merasa aman dan dihargai di mata orang lain.

Seorang penulis umumnya suka membaca. Bagaimana dengan Mia?

Tentu saja. Seumur hidup saya selalu membaca. Saya enggak begitu banyak membaca novel romantis karena mempersulit dalam menulis akibat genre yang sama. Namun, saya suka banget Stephen King, juga novel horor dan thriller, percaya enggak? Saya juga suka novel klasik, mungkin membaca satu atau dua judul dalam setahun.

Ada keinginan untuk mencetak ulang novel lama yang sudah susah dicari?

Tergantung penerbit, tapi semoga saja ada.

Soal rencana terdekat, bisa dibagi enggak dengan pembaca?

Sebenarnya ada beberapa buku yang akan segera terbit di awal tahun depan. Salah satunya lewat penerbit mayor tapi saya belum bisa bicara banyak. Satu lagi self-published tapi saya masih dalam proses menulis jadi belum ada informasi yang bisa dibagi.

PS, lewat akun Instagram, Mia berbagi info tentang novel berjudul Bad Mother akan dirilis 28 Maret 2023 lewat penerbit Montlake. Can’t hardly wait!

Ada yang ingin disampaikan kepada pembaca, teruma dari Indonesia?

I love you all and appreciate you to the edges of my heart. It’s a dream to someday visit your beautiful country. Thank you for reading and for all the love.

Mia Sheridan’s Favorite Books