Pradnya Paramitha: Curhat Penulis ‘Mager’ dan Obrolan Self Published Rasa Mayor
I think I’m late to join the party. Maksudnya terlambat mengenal nama Pradnya Paramitha. Pertama mengenali karyanya lewat Baby Without Daddy yang tayang di Storial. Saat itu, sedang di masa ingin menghidupkan kembali minat membaca yang sempat mati suri, terutama terhadap penulis Indonesia.
Kalau bukan karena iseng-iseng berhadiah di Storial, mungkin enggak akan berkenalan dengan Pradnya. Selanjutnya, ikut terkena demam Tentang Kita yang Tak Mengerti Makna Sia-sia. Pada saat itu, banyak pembaca yang merekomendasikan Pradnya. Setiap kali membahas penulis Indonesia, nama Pradnya selalu disebut.
Is it worth the hype? I think yes.
Memang, belum banyak membaca bukunya Pradnya (terhitung sampai saat ini baru baca dua judul, dan masih banyak judul lain yang nongkrong di TBR). Banyaknya yang menyebut nama Pradnya terkait novel romance Indonesia membuat penasaran dengan proses kreatif di balik karya-karyanya.
Yuk, ngobrol langsung dengan Pradnya dan balik lagi ke awal mula Pradnya nyemplung jadi penulis.
Menulis, Mimpi Masa Kecil

Perkenalan dengan dunia literasi dimulai sejak SMP. Sebagai penulis, Pradnya juga seorang pembaca. Bahkan, Pradnya memilih untuk enggak ikut study tour agar uang saku bisa dipakai untuk membeli buku.
“Aku lupa gimana awalnya menulis ceritaku sendiri. Pertama aku menulis di buku tulis, begitu rampung aku tulis ulang di kertas buram seukuran novel. Maklum, di desa pada masa itu komputer masih sangat minim, apalagi percetakan buku,” kenang Pradnya.
Lebih lanjut, Pradnya menambahkan, “Pas SMA beda lagi, udah kenal komputer jadi cerita yang udah rampung aku tulis ulang di komputer di kantor Bapak tiap pulang sekolah. Disimpan di disket yang lebih sering error. Enggak jarang udah ngetik panjang-panjang, udah di-save, eh enggak bisa dibuka.”
Sepanjang ingatannya, saat SMP Pradnya berhasil menyelesaikan dua novel, yang salah satunya akhirnya diterbitkan dengan judul Better Than This. Di bangku SMA, Pradnya juga berhasil menyelesaikan dua judul.
Perjalanan panjang itu mengantarkan Pradnya ke Stolen Heart, buku pertama yang berhasil diterbitkan tahun 2012. “Prosesnya cukup panjang. Jadi, setelah lulus SMA aku kuliah di luar kota yang fasilitasnya jauh lebih baik dari kotaku. Di sana aku punya akses informasi yang lebih mudah untuk mencari tahu tentang penerbitan buku. Aku mulai memberanikan diri mengirimkan naskahku. Zaman dulu kirim naskah ke penerbit harus hardcopy. Jadi aku nyari tempat print murah dan mengirimkan ke penerbit,” jelasnya.
Pradnya sempat mengalami penolakan oleh penerbit. Kalau dikumpulkan, naskah yang dibalikin bisa satu kardus, he-he. Setelah mengalami penolakan dan mencoba mencari penerbit lain, akhirnya Stolen Heart berhasil diterbitkan. Pradnya pun memulai kariernya sebagai penulis.
Sampai saat ini, Pradnya sudah menerbitkan sepuluh judul secara mayor. Sebanyak 70% dari novel berupa hasil “melamar” ke penerbit. Jadi, Pradnya memasukkan naskah ke penerbit lalu menunggu sekitar 3-6 bulan untuk mendapatkan jawaban apakah diterima atau ditolak.
“Dari 10 buku itu, sepertinya hanya 2 yang “dilamar” oleh penerbit, di mana aku dihubungi terlebih dulu. Tentunya ada beberapa pertimbangan yang kuambil saat menerima “lamaran” itu. Yang paling utama adalah rekam jejak penerbitnya. Jadi, sebelumnya aku akan cek-cek dulu profil penerbit ini seperti apa, mulai dari cara promosinya, gaya cover-nya, editing-nya, kerapian administrasinya, dll. Jika aku merasa cocok, ya gas. Kalau nggak, ya tahan dulu,” cerita Pradnya.
Sudah bekerja sama dengan banyak penerbit, Pradnya mengaku paling suka dengan penerbit yang memiliki editor “galak”. “Maksudnya, yang banyak ngasih catatan ke naskah (ada editor yang cuma benerin typo doang kan), sehingga naskahku bisa berkembang dan aku juga nambah ilmu baru,” jelasnya.
Berkenalan dengan Platform Menulis

Meski sudah menerbitkan buku lewat jalur mayor, Pradnya juga menjajal dunia plaform menulis online. Dirinya pun cukup dikenali di platform tersebut.
“Karena suka baca, aku aktif di Goodreads. Di sana aku bisa mendokumentasikan buku-buku yang kubaca, dan men dapat rekomendasi buku untuk dibaca. Nah, waktu itu tahun 2014, waktu aku buka ulasan sebuah buku, banyak reviewer menyebut-nyebut soal Wattpad. Karena kepo, aku cari tahu apa itu Wattpad. Akhirnya ketemu bahwa itu adalah platform buat baca dan nulis novel gratis. Wah, itu berasa surga. Apalagi sebagai mahasiswa kan butuh bacaan gratis ya,” kenangnya.
Pradnya mulai mengunggah cerita yang pernah ditolak penerbit di Wattpad. Saat itu, harapannya agar naskah tersebut mendapatkan pembaca. Meski enggak ada yang membaca, Pradnya terus mengunggah ceritanya. Judul pertama yang dipublikasikan adalah Love-Hate Relationship yang merupakan cikal bakal Better Than This.
Saat ini, karya Pradnya tersebar di Wattpad, KaryaKarsa, Storial, dan Hipwee. “Ada beberapa pertimbangan. Pertama, aku penulis yang cukup moody, jadi nggak punya banyak naskah dan satu naskah bisa selesai dalam waktu berbulan-bulan hingga tahunan. Kedua, platform tersebut memiliki sistem yang paling sesuai dengan gaya kerjaku sebagai penulis. Dari segi teknis (user interface, kemudahan akses, dll) platform tersebut cukup nyaman buatku. Ketiga, platform tersebut juga punya benefit dalam berbagai hal termasuk finansial yang paling sesuai dengan yang kubutuhkan. Keempat, pusing kalau kebanyakan platform,” jelasnya.
Meski sudah menerbitkan buku secara mayor, Pradnya tetap membutuhkan platform menulis karena ada dorongan agar menyelesaikan tulisan yang sudah dimulai. Respons pembaca membantu dalam menulis hingga selesai, meski butuh waktu berbulan-bulan.
“Bisa dibilang tulisan yang kuunggah di platform (khususnya Wattpad) adalah draft pertama. Yup, mengingat ke-moody-anku tadi, aku punya sistem kerja tulis-posting-tulis-posting. Dengan melempar draft pertama ke pembaca, aku dapat masukan tentang naskah yang kutulis. Misal ada ketidaksesuaian fakta, typo, plot hole, dan kekurangan-kekurangan lainnya. Dari situ, aku mendapatkan banyak bahan untuk mengembangkan draft pertamaku menjadi lebih baik saat self-editing (aku biasa self editing setelah naskahnya tamat),” ungkapnya.
Pradnya berpendapat, kehadiran platform menulis sangat membantu dalam mengatasi masalah konsistensi. “Syaratnya, harus tahan banting karena yang namanya orang banyak, kan pendapatnya beda-beda. Jadi, nggak boleh baper kalau ada kritik atau komentar negatif. Aku cenderung cuek dengan komentar negatif, karena prinsipku “seorang penulis nggak bisa membahagiakan semua pembaca”. Jadi kalau ada yang nggak suka ceritanya, ya udah. Kalau ada kritik, ya diterima dengan baik. Hal-hal semacam itu sangat membantuku berkembang sebagai penulis,” ujarnya.
Tentunya ada perbedaan antara menulis untuk platform dan penerbit. Salah satunya panjang cerita. “Aku nggak yakin apakah ini masih relevan dengan situasi saat ini, tapi kalau dulu naskah untuk diterbitkan cetak lebih pendek. Kalau mengikuti aturan penerbit, panjangnya hanya sekitar 150 lembar A4 spasi 2. Kalau nggak salah jumlah babnya sekitar 20 bab. Nah, beberapa naskahku yang lama masih mengikuti pakem ini. Kalau untuk menulis di platform, nggak ada ketentuan panjang naskah, kan? Kalau aku lebih ngikutin plot yang kususun. Selama efektif, masuk akal, dan nggak terkesan cuma buat manjang-manjangin cerita, ya hajar aja,” jelasnya.
Selain itu, Pradnya punya trik jitu agar tulisan di platform terus ditunggu. Yaitu memberikan cliffhanget di akhir bab, terlebih untuk naskah on-going. “Di platform biasanya posting per bab, jadi pembaca bacanya bertahap. Karena itu, butuh sesuatu yang mengikat pembaca supaya mau baca chapter berikutnya yang belum terunggah. Dengan ending bab yang cliffhanger, tentunya banyak pembaca yang kemudian menunggu-nunggu bab selanjutnya,” saran Pradnya.
Menjadi Mandiri Lewat Self Publishing

Meski sudah menerbitkan buku secara mayor, Pradnya juga mencoba peruntungan di bidang self publishing. Pradnya menerbitkan cerita secara mandiri dan memegang peranan penuh dalam proses kreatif serta proses produksi.
Pradnya menyebutkan, “Awalnya aku terbawa mindset ketika SP belum sepopuler sekarang. Menurutku, SP sangat sulit dilakukan dan harga bukunya jadi sangat mahal. Jadi, menurutku SP bukan pilihanku. Kemudian aku bertemu seseorang yang berhasil meyakinkan kalau SP mungkin dilakukan dan apa yang kutakutkan nggak akan terjadi. Saat itu kupikir, yah apa dicoba aja, ya? Kemudian aku mencoba, dan ternyata benar. SP itu sangat mungkin untuk dilakukan.”
Ada beberapa pertimbangan yang dimiliki sebelum menerbitkan cerita secara mandiri. “Secara emosional, sebagai penulis, aku mendapatkan kepuasan tersendiri saat karyaku bisa menjadi sebuah buku, bisa dipegang-pegang, walaupun cuma dicetak untuk diri sendiri. Rasanya senang kalau melihat bukuku terpajang di rak. Jadi, kalau ditanya aku nulis untuk apa? Pertama-tama tentu untuk mengeluarkan isi pikiranku, dan kedua, alangkah senangnya jika isi pikiranku itu bisa berwujud fisik yang bisa kulihat dan kupajang di rak pribadiku.
Secara material, sebagai penulis, nggak bisa dimungkiri bahwa aku juga ingin mendapatkan penghasilan dari kerja kerasku. Dan menurutku sangat wajar bila penulis ingin mengkomersikan karyanya. Dari sisi pembaca, banyak dari mereka yang juga menyukai bentuk buku fisik yang bisa dikoleksi di rak,” terangnya.
Draft pertama yang diunggah di platform menulis diolah menjadi lebih sempurna untuk dicetak secara mandiri. Pradnya membenahi dan mengembangkan naskah menjadi lebih utuh. Tentunya ada sentuhan editor yang memoles naskah tersebut. Pradnya juga menambahkan extra part dari cerita. Extra part ini bisa berisi lanjutan cerita momen manis atau scene tambahan untuk menceritakan apa yang nggak digambarkan dalam novel utamanya,” jelasnya.
Menerbitkan buku secara mandiri memberikan tantangan tersendiri. Pradnya menyiapkan semuanya sendiri, mulai menetapkan deadline naskah, memesan cover, menentukan detail teknis buku (font, ukuran, dll), mencari percetakan yang paling pas, promosi, dll. Dalam hal ini, penulis punya kendali lebih besar untuk mengambil keputusan tersebut dan memberikan kepuasan tersendiri saat semuanya terlaksana.
“Tantangannya banyak. Pertama, bagaimana buku itu bisa menjadi sesuatu yang bagus dan baik saat sampai di tangan pembaca. SP kan tidak lewat saringan atau seleksi editor. Jadi, aku harus usaha sendiri untuk membuat naskah tersebut menjadi lebih baik, entah dengan self editing yang lebih strict (yang mana aku juga banyak belajar, beli buku-buku editing, tanya-tanya ke pakar, dan baca ulang naskah belasan kali sampe gumoh), atau dengan menyewa jasa editor lepas. Intinya, aku sendiri yang harus memastikan buku yang sampai di tangan pembaca itu “baik” dan “bagus”.
Oleh karena namanya self publishing, semuanya dilakukan sendiri, termasuk promosi. Namun, di sini aku terbantu dengan base pembaca yang terbentuk dari platform. Ketiga, SP juga harus siap keluar modal duluan, setidaknya buat pesan cover dan sewa jasa editor (dan layouter kalau perlu).
Keempat, satu yang tidak bisa disangkal, masih banyak pembaca yang meremehkan buku-buku SP karena dianggap nggak berkualitas seperti buku-buku mayor. Mungkin karena buku SP nggak melewati tahap “seleksi” dari editor kali, ya? Itulah kenapa aku selalu ingin memberikan yang terbaik, dan effort maksimal, untuk buku-bukuku yang diterbitkan secara SP dengan motivasi ‘buku SP rasa mayor’.”
Menetapkan deadline juga menjadi tantangan tersendiri bagi Pradnya. “Kalau di mayor harus ikut deadline dari penerbit, saat SP cenderung lebih longgar karena bikin deadline sendiri. Menurutku ini juga tantangan, bagaimana kita bisa menepati deadline yang ditentukan sendiri. Jadi, nggak mentang-mentang nentuin tanggal sendiri, jadi bisa ubah sesuka hati gitu,” tambahnya.
Self publishing yang semakin mudah membuat siapa saja bisa menerbitkan bukunya sendiri. Menurut Pradnya, di satu sisi ini adalah perkembangan yang bagus untuk dunia kepenulisan. Ini juga periode emas bagi para penulis, karena membuka kesempatan yang luas bagi para penulis untuk berkarya. Penulis bisa lebih mandiri dalam mengelola karyanya, tidak harus selalu bergantung pada pihak ketiga.
“Namun, nggak bisa disangkal bahwa stigma tentang buku SP muncul bukan tanpa alasan. Aku pernah membeli dan membaca beberapa buku SP, dan harus diakui bahwa beberapa di antaranya kurang baik dari banyak segi. Terlalu subjektif kalo kita ngomongin ceritanya bagus atau nggak, jadi mungkin lebih fair kalau dilihat dari segi teknis. Penulisan yang berantakan dan lain sebagainya.
Buku-buku itu tetap laris manis di pasaran, meskipun pas baca aku malah emosi. Nggak bisa disalahkan, karena mungkin ceritanya banyak yang suka. Di sinilah menurutku, seorang penulis punya tanggung jawab untuk memberikan karya yang terbaik. Meski bisa menerbitkan buku sendiri tanpa penerbit atau pihak ketiga, ya terbitkanlah naskah yang baik. Jangan malas belajar dan meningkatkan skill kepenulisan untuk membuat karya yang baik hanya karena sudah punya basis pembaca yang besar.
Jangan malas memperbaiki atau merapikan naskah hanya karena “kan pembacanya udah banyak. Mereka juga nggak gitu merhatiin teknis dan kualitas lain kok”. Bisa jadi itu benar, tapi itulah kenapa aku sebutnya tanggung jawab pribadi. Karena aku sendiri juga lebih puas ketika naskahku bisa terbit dalam kondisi yang baik (dibilang sangat baik atau nggak ada kesalahan sama sekali ya nggak mungkin, tapi setidaknya dibuat sebaik mungkin). Manfaatkan jasa editor untuk mencari tahu bagaimana supaya naskah kita lebih baik, atau ya bisa swasunting lebih ketat (dengan catatan harus belajar ya),” imbuhnya.
Persaingan yang Makin Beragam

Saat ini, banyak nama-nama penulis yang lahir lewat platform menulis. Kemudahan yang diberikan membuat siapa saja bisa mengembangkan kreativitas dan menelurkan karya sendiri. Semua orang pun bisa menjadi penulis.
“Benar, semua orang bisa menulis, tapi nggak semua orang bisa menulis dengan baik. Jadi, ketika memutuskan untuk menjadi penulis, kita punya tanggung jawab pada diri sendiri dan pembaca atas apa yang ditulis. Tentunya kita ingin dikenal sebagai penulis yang baik, kan? Jadi, ini semacam apa ya … beban moral pribadi mungkin? Bisa jadi pembaca menyambut karya kita dengan bahagia terlepas dari segala kekurangannya, tapi apa nggak kepingin untuk membuat karya yang baik dengan memperbaiki kekurangan-kekurangan?” imbuh Pradnya.
Pradnya percaya, ketika sebuah karya dilempar ke publik, maka di situlah penulis “mati” (pendapat filsuf Rolland Barthes). “Publik bebas menafsirkan karya kita bagaimanapun caranya, dan kita nggak akan bisa menyenangkan semua pembaca, karena tiap orang punya selera dan variabel penilaian yang beda-beda. Namun, di sisi lain, aku tahu bahwa apa yang kita tulis bisa mempengaruhi hidup pembaca. Karena itulah sebagai penulis, kita harus berhati-hati, dan sebisa mungkin membuat karya yang bisa dipertanggungjawbakan,” jelas Pradnya.
Hal tersebut juga melahirkan persaingan, karena sebagai penulis tentunya ingin nama terus relevan di tengah nama-nama lain. Namun, Pradnya enggak merasa tersaingi.
“Semakin banyak penulis, aku semakin banyak punya bahan bacaan. Aku percaya bahwa setiap penulis punya pembacanya sendiri-sendiri. Terpacu? Sayangnya nggak juga. Aku kan penulis mageran yang moody parah. Yang kalo keasyikan baca buku atau nonton drakor bisa lupa masih punya cerita on-going, he-he.”
Masih kepo dan ingin mengulik lebih lanjut soal proses kreatif Pradnya? Tungguin artikel selanjutnya, ya.
Pingback: Pradnya Paramitha: Rahasia di Balik Dapur Penulis, Ide Random dan Isu Sosial Penggerak Cerita – Revelrebel.id
Pingback: Pradnya Paramitha: Bersuara Lewat Karakter yang Ditulis – Revelrebel.id