Pradnya Paramitha: Bersuara Lewat Karakter yang Ditulis
Seorang penulis bisa melekat erat di benak pembaca karena gaya menulis yang menjadi ciri khasnya. Enggak bisa dipungkiri bahwa suara penulis juga menjadi racun, yang membuat pembaca selalu balik dan balik lagi untuk membaca novel dari penulis bersangkutan.
Ada beberapa penulis yang ‘suaranya’ begitu kuat. Saking kuatnya, setiap kali mereka menelurkan buku, pasti akan dibeli. Dua nama dari dalam negeri yaitu Ika Natassa dan Dewi Lestari. Dari luar negeri, Colleen Hoover dan Taylor Jenkins Reid adalah salah duanya.
Banyak yang menyebut bahwa Pradnya punya ‘suara’ yang kuat. Gaya menulis Pradnya harus diakui sangat menyenangkan untuk dibaca. Pradnya punya bank kosa kata yang banyak, sehingga setiap pilihan kata yang dituliskannya memiliki nyawa yang membuat kita enggak berhenti membalik halaman.
Sebelumnya baca juga:
- Pradnya Paramitha: Curhat Penulis ‘Mager’ dan Obrolan Self Published Rasa Mayor
- Pradnya Paramitha: Rahasia di Balik Dapur Penulis, Ide Random dan Isu Sosial Penggerak Cerita
Pradnya sendiri mengaku butuh waktu lama untuk bisa menemukan gaya menulis yang nyaman sehingga menjadi ‘suara’ seorang Pradnya Paramitha.
Kekuatan lain dari Pradnya adalah gaya menulis. Butuh waktu berapa lama dan gimana prosesnya sampai ketemu gaya menulis yang enak dan nyaman dibaca?
Pradnya: Karena kesukaanku menulis dimulai dari kesukaanku membaca, di awal-awal kepenulisan dulu, aku masih sering meniru gaya penulis yang aku suka. Misalnya gaya Esti Kinasih yang kocak. Atau Primadonna Angela yang cair ada sedikit sentuhan tajam. Bahkan ada masanya aku meniru bagaimana mereka merangkai kata, atau mereka pakai diksi apa. Karena ya dulu pikiranku sederhana banget, aku suka tulisan mereka dan ingin bisa menulis seperti itu.
Pada akhirnya, semua itu berkembang seiring berjalannya waktu. Dari aku yang awalnya cuma sekadar nulis, mulai belajar sedikit-sedikit. Aku mulai kenal teknik kepenulisan, misalnya soal POV. Aku pernah sangat anti menulis dengan POV 3. Karena menurutku, aku nggak bisa nulis dengan POV 3. Emosinya nggak tersampaikan. Lalu setelah sekian lama menulis dengan POV 1, aku iseng mencoba menulis dengan POV 3. Oh, ternyata POV 3 bisa nyaman juga untukku, dan dengan cara yang berbeda, ternyata bisa juga menyampaikan emosi tokoh dengan baik. Hingga akhirnya aku bisa mengidentifikasi, kira-kira cerita yang akan kutulis ini lebih cocok pake POV apa, ya. Lalu nuansa narasinya seperti apa? Apakah yang serius, atau yang kocak-kocak. Mungkin dari situ, tanpa sadari pola dan gaya menulisku terbentuk.
Tapi sebenarnya, ada pertanyaan yang muncul di pikiranku sih. Apa aku sudah punya gaya menulisku sendiri? Kalau iya, jujur aku sendiri malah nggak sadar, dan mungkin pembaca yang lebih bisa “membaca” gaya tersebut. Karena ketika ditanya Pradnya itu gaya nulisnya seperti apa, aku nggak akan bisa menjelaskan.
Read More